Beranda > Prosa Rasa > Aku kehilangan dia dua kali…?

Aku kehilangan dia dua kali…?


Kamu berubah, kabar itu kuterima di suatu pagi lewat lisan seorang ukhti.
“Kembali ke akar dimana kau dibesarkan?” Itulah ungkapan yang kuterima saat kutanya “Kenapa?”
“Dipicu oleh sosok baru dan asing -bagi kami- yang kini selalu membersamaimu.” Ini tambahan dariku.

Reaksiku? Sama seperti saat menerima sms darimu di akhir Romadhon 1428 H.
Aku merasa kehilangan. Dan di seberang sana saudariku mendengarku berkata, “Aku kehilangan dia dua kali ukh…”
Dua kali? Ya, dua kali. Pertama ketika kamu disunting lelaki yang sekarang menjadi suamimu.
Kedua, saat kamu putuskan tak lagi bergabung dengan Jama’ah kami kemudian lebih bersimpati pada tokoh yang penuh kontroversi.
Dan apa yang bisa kukatakan?
“Suamimu telah merusak pola pikirmu?”
atau “Kamu memang begitu lemah dan mudah dikikis idealismenya?”
atau “Kamu memang belum matang dan masih angin-anginan , jauh dari militan dan keistiqomahan?”
Empat tahun di Jama’ah ini, bergabung dalam barisan da’iyah, masuk dalam jajaran murobiyah kampus,
rupanya tidak cukup membuatmu semilitan dugaanku.

Aku kecewa, galau dan sakit…
Tapi aku ini siapamu? Tak lebih hanya orang yang numpang lewat dalam kehidupanmu di masa lalu.
Apakah cita-cita reuni di surga dengan bernaung di satu bendera hanya angan-angan belaka?
Atau ada rahasia Allah yang belum terungkap, yang menjanjikan akhir yang lebih sempurna?

Seperti biasa, jika kugalau, kutumpahkan semuanya di “personal book”-ku.
Menuliskan semua ganjalan dan segala sesuatu yang membuat akalku buntu.
Dan Pujian hanya milik-Nya, aku pun menemukan jawaban.
Teringat wasiat Hasan AL Banna yang kuterima di halaqoh perdanaku 8 tahun yang lalu,
“Bahu-membahu dalam kesepakatan, toleransi dalam perbedaan.”
Juga cuplikan ungkapannya di buku Risalah Pergerakan yang kubaca saat semester satu,
“Perbedaan itu suatu keniscayaan.”

Maka kutuliskan beberapa pertanyaan yang sedikit melegakanku.
“Apakah kamu yang kembali ke akar dimana kamu dibesarkan dan keluar dari jama’ah ini bisa kuanggap murtad?”
“Apakah kamu yang mulai simpati pada tokoh yang terkenal kontroversial bisa kukatakan kafir?”
“Apakah kamu yang tak lagi ikut halaqoh dan tak sepemahaman dengan kami bukan lagi saudara seiman dan seislam?”
Tentu saja jawabannya “tidak”. Kamu tetap memiliki hak yang sama sebagai saudara seiman,
selama masih berpegang pada AL Qur’an dan Sunnah, kemudian terus berusaha menerapkannya dalam kehidupan.
Engkau masih saudara, masih saudara…

Maka aku hanya bisa mencoba berlapang dada,menebalkan rasa tasamuhku atas keputusanmu dan menghormati jalan pilihanmu.
Semua adalah proses kehidupan menuju kematangan yang tentu saja akan dilalui oleh semua orang.
Hingga batas akhir nanti, saat kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya atas pilihan-pilihan kita. Disanalah segalanya bermuara.

Dan peristiwa itu membuatku kembali merenungi langkahku selama ini.
Akankah aku mencukupkan diri dengan pengetahuan dan wawasan yang ada di depanku saja?
Kemudian tidak mencoba membuka pintu-pintu lainnya untuk mencari kebenaran yang lebih sempurna?
Atau aku sudah cukup puas hanya dengan pemikiran satu dua tokoh saja? Tentunya tidak demikian.

Seperti Imam Syafi’i, pada masanya Makkah tempat beliau tinggal sudah cukup nyaman.
Disana ada banyak alim ulama yang bisa ditanyai tentang bermacam masalah.
Di usia 15 th beliau sudah disegani dan dimintai fatwa agama, hidupnya terjamin karena ia cukup “disayang” oleh Amir Makkah.
Beliau sudah berada dalam posisi “aman”. Harta, kedudukan dan kehormatan telah beliau dapatkan.

Tapi Imam Syafi’i tidak berhenti. Ia terus mencari dan menambah ilmunya, memperluas wawasan dan pandangannya.
Beliau menuju Madinah menemui Imam Malik dan belajar pada peletak dasar madzhab Maliki itu.
Selanjutnya Imam Syafi’i mengembara, menemui ulama-ulama hingga ke Mesir, melewati Kufah, Basrah dan kota-kota lainnya.
Dia pun tak segan belajar pada muridnya sendiri. Imam Ahmad bin Hanbal -peletak dasar madzhab Hanbali- adalah salah satu muridnya.
Tapi tanpa sungkan dan merasa rendah Imam Syafi’i bertanya pada Imam Ahmad tentang ilmu hadits.

Semoga saja kita bisa meneladani kegigihan para pencari ilmu dan kebenaran seperti beliau.
Dan tidak berhenti memperdalam pemahaman tentang dien ini, tak juga mencukupkan diri dan cepat merasa puas dengan ilmu yang kita miliki.

Dan akhirnya, dimanapun akar kita tumbuh, apapun latar belakang madzhab dan pemikiran yang membesarkan kita, akar Islam tetaplah sama : Al Qur’an dan Sunnah Rasullullah saw.
Dengan kata lain, kita tetap mempunyai kewajiban dan hak yang sama.
Kita masih wajib berdakwah, kita masih wajib beramar makruf nahi munkar, kita masih wajib menegakkan hukum2 Allah… Karena kewajiban itu tidak hanya milik golongan atau aliran tertentu saja. Semua yang mengaku muslim tetap berkewajiban.
Maka, teruslah bergerak, bergerak dan bergerak.
Menebarkan kebaikan dan terus memberi kemanfaatan pada sesama,
bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya?
Sungguh, dakwah tidak pernah membutuhkan kita, tapi kitalah yang membutuhkan dakwah,
karena ia adalah ruh di dalam jiwa kita.
Wallahu a’lam

Kategori:Prosa Rasa
  1. atifah
    18/11/2009 pukul 06:54

    izin copas ya…..^_^

  2. dd
    17/10/2011 pukul 22:57

    ehem

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar